Kamis, 26 April 2012

Lima Lapis Makna Bukkaweng Maulid di Mandar


Ritual maulid Nabi Muhammad yang dimeriahkan dengan parade totammaq adalah hal yang tak lazim bagi masyarakat Mandar dan sekitarnnya. Sebuah perayaan yang sangat meriah yang bahkan mampu menghadirkan wisatawan lokal dan manca negara tiap tahunnya sepanjang bulan di daerah kecamatan Balanipa dan sekitarnya. Bukkaweng adalah sebuah benda yang harus dimiliki oleh sebuah kelurga yang hendak mengkhatam anaknya setelah membaca Alquran, dan berikut ini adalah sebuah analisis ilmiah tentang materi tersebut.
Pertama, Materi utama bukkaweng adalah pohon pisang yang sedang berbuah, secara empirik, pohon pisang atau pisang yang dipilih sebagai materi utama bukkaweng, karena di Mandar memang tumbuh banyak pohon pisang. Sangat banyak dijumpai di dataran rendah sampai di lereng pegunungan, bahkan di daerah pedalaman. Pisang juga adalah buah favorit orang Mandar sejak dulu sehingga sangat wajar gagasan mereka yang timbul dari pengalaman (empirisme) melihat dan  menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di tahun 2003, Kaori Kaymatshu, seorang ilmuwan asal Jepang melakukan sebuah riset di Mandar yang fokus pada buah pisang. Secara mengejutkan ia menemukan banyak jenis pisang yang tumbuh di Mandar. Risetnya dimulai dari Paku (perbatasan kabupaten Pinrang dan kabupaten Polman ) sampai ke Somba di kabupaten Majene. Alhasil ia menemukan jenis pisang di daerah tersebut mencapai seratus jenis lebih yang dibagi secara spesifik berikut ciri-ciri ilmiah yang membedakan mereka satu sama lain. Padahal secara kasat mata  jenis pisang yang ada di Mandar tidak lebih dari 20 jenis yang bisa dibedakan dari segi bentuk dan rasanya. Beberapa di antaranya hanya ada di Mandar.
Kedua, setelah pohon ini dikemas sedemikian rupa untuk menjadi bagian penting dari sebuah ritual, maka pohon pisang tersebut sudah bukan lagi pohon pisang biasa, apalagi ditempatkan di atas rumah dengan nama khusus yaitu, bukkaweng. Bukkaweng lengkap dengan buah pisangnya yang masih utuh. Benda ini akan dibungkus dengan warna yang menarik dan akan ditanam ke dalam ember yang berukuran besar dengan tumpukan tanah agar dapat berdiri kokoh di dalam rumah dekat pusat tiang. Tidak hanya sampai di situ, bukkaweng tidak lengkap tanpa dipenuhi dengan barakkaq atau bande-bandera. Jelas pada bagian ini sebuah pohon pisang utuh dengan tambahan aksesoris pendukung sudah berada pada ranah simbolik yang memiliki struktur yang bersifat imanen, pohon sebagai simbol inilah yang menjadikan benda biasa menjadi bernilai bagi orang Mandar dalam konvensi yang mereka sepakati.
Pertanyaan selanjutnya adalah, makna apa yang ada di balik simbol tersebut? jawaban atas pertanyaan ini memungkinkan kita untuk melangkah pada lapis makna ketiga. Pohon pisang berikut buahnya tidak dipilih secara acak atau sekenanya saja. Hanya jenis pohon pisang kepok atau pisang batu yang menjadi pilihan, orang Mandar menyebutnya sebagai loka manurung, loka berarti pisang dan manurung adalah penamaan pisang itu sendiri.
Menurut salah satu narasumber, pisang manurung dipilih karena tidak lepas dari nilai historis dan penamaannya. Manurung berarti turun atau diturunkan dari langit, dimaksudkan bahwa pisang jenis ini adalah pisang yang istimewa. Narasumber lain menyebutkan bahwa pisang manurung bagi orang Mandar terdahulu sangat berharga, bahkan senilai dengan emas. Penamaan “Manurung” pada pisang ini karena dahulu (bahkan sampai saat ini) pisang tersebut berkembang biak sangat cepat di tanah Mandar, bahkan tidak ada habisnya, dan dari hal inilah pisang tersebut diberi nama “Manurung,” (sebagai perbandingan, di Polewali ada Sumur Manurung, airnya tidak pernah habis).
Manurung dapat dimaknai sebagai kesejahteraan ini tidak terlepas dari legenda Tomanurung yang juga dianut oleh suku Bugis, Makassar dan Toraja. Disebutkan bahwa, Tomanurung, sosok manusia yang suci, bertutur kata arif dan bijaksana, awalnya muncul di hulu sungai Sa’dang yang berhulu di pegunungan kabupaten Toraja yang kemudian bermuara ke selat Makassar dan melalui beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi selatan. Tomanurung adalah sosok yang turun dari langit yang dipilih oleh rakyat Passokkorang (sekarang kec. Luyo Polman) akhirnya dipilih sebagai raja di tempatnya kala itu, hingga beranak pinak dan menyebar di seluruh daratan Mandar (lihat Syah 1998).  
Salah satu narasumber juga menyebutkan bahwa pisang manurung (kepok) ini juga adalah pisang kesukaan arwah nenek moyang sehingga menjadi pisang utama dalam beberapa ritual. Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa pisang jenis ini menjadi menu wajib setiap sesajen pada semua acara adat di Mandar. Bahkan dikatakannya lagi, pisang jenis lain bisa tidak dihadirkan kecuali pisang jenis ini. Orang Mandar berharap berkah dari loka manurung, yang sifatnya subur dan mensejahterakan. Setiap menyajikan bukkaweng, sebuah baki yang berisi sesajen lain juga dihadirkan untuk arwah leluhur yang secara tersirat merujuk pada Tomanurung.
Lapis makna keempat adalah dunia ide yang terkandung pada simbol budaya tersebut. Penyajian bukkaweng sebagai materi utama dalam perayaan maulid Nabi Muhammad adalah sebuah olah pikir yang dimiliki oleh masyarakat Mandar sebagai sebuah sarana untuk “mendapat berkah” dari Nabi Mauhammad saw, jelas bahwa ini adalah pengaruh Islam dalam masyarakat Mandar. Ada campur budaya dan agama pada kasus ini; kepercayaan masyarakat Mandar saat sebelum Islam, tidak berbeda dengan masyarakat lainnya di Indonesia, yaitu dua kepercayaan, animism dan dinamisme. Setelah Islam masuk sekitar tahun 1603 maka Islam diterima dengan sangat baik, tetapi mereka tidak serta-merta meninggalkan kebiasaan lama yang sudah  mendarah darging (lihat Syah, 1998)
Cukup sulit untuk menjelaskan bahwa apakah mereka memprioritaskan kepercayaan kuno dan kepercayaan tentang Nabi Muhammad dalam praktik ritual Maulid ini, sebab kedua unsur yang berbeda ini menyatu dengan sangat kental dan nyaris tak bisa dilepaskan antara satu dengan yang lain. Penulis menafsir bahwa ide mereka tentang bukkaweng adalah mendapat berkah dari Rasul yang melimpah dengan menggunakan medium yang sifatnya melimpah pula, yaitu loka manurung dengan segala makna filosofis-historis, dan sedikit mitos yang dilekatkan padanya. Dari hal ini timbullah istilah barakkaq (baca: barakka’).
Barakkaq secara harfiah berarti berkah, diserap dari bahasa Arab barakah dapat dimaknai sebagi perwujudan simbol-simbol keislaman yang ditancapkan pada wujud tradisi (penempatan barakkaq ditancapkann pada batang pisang bukkaweng). Jika diperhatikan, penulis memaknai penyusunan ketiga benda yang menjadi bagian  utamaya adalah sebagai berikut.
Ketupat Nabi adalah simbol Nabi Muhammad, di mana dalam ajaran Islam telah diajarkan bahwa jauh sebelum bumi dan isinya ini tercipta, Nabi Muhammad sebenarnya telah ada tetapi tidak dalam bentuk lahiriah sebagai manusia, Muhammad sebagai Nur atau cahaya telah menjelma, orang Mandar menyebutnya tajang (baca: tayang). Penjelasan seperti ini sangat banyak ditemukan dalam beberapa ajaran tasawwuf (lihat juga: Yang Mengenal Dirinya yang Mengenal Tuhannya, Rumi: 2004).
Sedangkan simbol telur bermakna dunia, telur adalah benda bulat sebagaimana bentuk dunia/bumi. Dengan kata lain, Muhammad yang disimbolkan ketupat itu mendahului dunia, penciptaan dunia diawali dengan ruh Muhammad. Seiring kelahiran (tubuh) Muhammad, sampai pada pelantikannya sebagai Rasul akhir zaman, maka menanglah kebajikan atas kebatilan dan simbol kemenangan ini dimanifestasikan dalam perwujudan bande-bandera atau panji-panji (susunan barakkaq: ketupat Nabi+telur+bendera/uang selembaran).
Bukkaweng ditempatkan di dekat pusat tiang rumah (posiq arriang) yang secara filosofis bermakna, segala sesuatunya dimulai di dalam rumah, rumah adalah tempat berteduh/berlindung, beraktifitas dan beristirahat, juga tempat roh nenek moyang bersemayam. Ritual yang dilaksanakan saat membangun rumah panggung di Mandar berpusat di posiq arriang, hingga segala macam sesajen, ditempatkan, titempelkan, bahkan digantung di situ. Mereka menganggap posiq arriang adalah pusat “jiwa” atau energi yang menjaga rumah.
Pada tahap akhir pemaknaan ini, pada makna kelima,  kita akan tiba pada dasar asumsi masyarakat Mandar pemilik kebudayaan bukkaweng. Kita harus mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tentang kebudayaan yang mereka jalankan (worldview), tentang apa saja yang mereka hasilkan dari olah gagasan mereka. Bukkaweng dan barakkaq bagi masyarakat pemiliknya adalah sebuah gagasan tentang bagaimana hidup di dunia ini selalu seiring sejalan dengan faktor di luar akal. Sesuatu yang sifatnya nonfisik, tidak kasat mata. Unsur Islam dan tradisi asli Mandar dipadukan dengan sangat intim dalam sebuah simbol kebudayaan berikut pemahaman mereka tentang benda-benda yang mereka gunakan. Masyarakat Mandar tidak serta merta menciptakann hal-hal demikian tanpa pikir mendalam. Ada harapan yang mereka sematkan pada bukkaweng dan barakkaq.

Sedikit catatan dari penulis, setelah khatam Alquran usai yang ditandai dengan berakhirnya pembacaan barzanji, beberapa orang akan memperebutkan bukkaweng untuk dimakan telur dan ketupat, serta beberapa sesajen yang dilekatkan padan bagian bawahnya. Hal ini diakibatkan, masyarakat menganggap bahwa berkah adalah sesuatu yang tidak semua orang bisa mendapatkannya, dan itu harus direbut. Siapa pun yang berhasil mendapatkan barakkaq pada bukkaweng maka akan menganggap dirinya sangat beruntung. Pada bagian inilah unsur animisme-dinamisme dan keyakinan akan ajaran agama samawi yang dibawa oleh Muhammad bersatu padu dalam praktik kebudayaan suku Mandar []. 
                                                       

           Rujukan:
Alimuddin, Muhammad Ridwan. (tanpa tahun) Kebudayaan Bahari Mandar (naskah, telah diterbitkan dalam Orang Mandar Orang Laut, 2004 oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta)

Rahman, Nurhayati. 2006. Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo. La Galigo Press. Makassar

Syah, Tanawali Aziz. 1998. Sejarah Mandar III. Yayasan Al-Aziz. Ujung Pandang.

Thohir, Mudjirin. (tanpa tahun) slide bahan ajar m.k. Teori Kebudayaan tahun 2011.
Tim Prima Pena, 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gita Media Press.

  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar