"Kalau kukatakan aku mencintaimu, sumpah yang aku nyatakan aku mencintai
kemanusiaan yang ada padamu, semua kehidupan serta diriku yang ada dan hidup
padamu" (Erich From).
Cinta (asmara) sangat enteng kita
ucapkan dari mulut kita, seenteng kita mengucapkan peniti, mobil, burger, atau
ikan. Tetapi apakah cinta dapat kita pahami segampang kita memahami benda-benda
itu? Cinta tetaplah cinta yang selalu menjadi pertanyaan sekaligus jawaban, dia
yang menjadi sebab sekaligus menjadi akibat. Walau demikian di sekitar kita ada
beberapa hal yang bisa kita interpretasi sebagai sebuah wacana yang kemungkinan
bisa memberikan pada kita tentang pemahaman akan cinta, paling tidak membuka
pikiran kita untuk kemudian mulai mempelajari cinta.
Persoalan cinta selama ini lebih
sering disinggung oleh para penulis karya sastra, pencipta lagu dan beberapa
pembuat film yang mengeksploitasi perspektif mereka tentang cinta. Sangat
jarang bahkan nyaris tidak ada olah gagasan ilmiah yang membahas cinta,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Philip Roche, seorang psikiatris kenamaan
dari Philadelphia bahwa, sebagian orang mengatakan bahwa cinta merupakan
wilayah yang suci yang hanya bisa dimasuki oleh para penyair, sementara yang
lain berkata bahwa, jika cinta ditempatkan di bawah pengamatan sains, maka ia
akan dikuliti dari pesona keindahannya. Berikut ini adalah sebuah perspektif
tentang cinta yang melihat cinta sebagai tata cara, sebuah tata cara unik yang
ditemukan pada benda yang sifatnya lokalitas, sebuah interpretasi pilosofis
tentang cinta pada perahu sandeq.
Cinta di perahu sandeq
Siapa yang tidak mengenal perahu
sandeq? Perahu yang terbentuk dari evolusi tiga perahu tradisional Mandar pendahulunya
ini banyak ditemukan di Pambusuang, sebuah kampung pelaut di pesisiran provinsi
Sulawesi Barat, sekitar empat puluh kilometer arah barat dari kota Polewali.
Perahu ini akan sangat gampang kita temukan dengan cirinya yang khas, bercadik,
berwarna putih, bentuk layarnya segi tiga dan memiliki anatomi tubuh yang cukup
ramping.
Pada bagian buritan perahu
sandeq, terdapat sepasang kayu memanjang yang dipasang menyusun melintang, disebut
‘sanggilang’, bagian atas disebut ‘sanggilang muane’ dan pada bagian bawah
disebut ‘sanggilang baine’, fungsi dari sanggilang ini untuk menyangga kemudi
perahu saat dilajukan di laut lepas. Sanggilang adalah bagian yang paling
penting setelah layar untuk melajukan perahu. Tetapi sebagian besar orang,
khususnya orang Mandar mungkin belum mengetahui bahwa pada bagian sanggilang
ini, terdapat sebuah lubang setengah lingkaran yang diciptakan untuk
menggenggam daun kemudi saat perahu dilayarkan.
sepasang sanggilang dan lubang setengah lingkaran (dok. prib) |
Lubang setengah lingkaran itu
disebut ‘kottaq sanggilang’ (baca: kotta’). Kottaq sanggilang ini yang
mempunyai peranan penting untuk tetap menjaga posisi kemudi saat sedang
berlayar. Sedangkan di dalam bahasa Mandar, kottaq
bisa berarti pacar atau kekasih, sikottaq
berarti menjalin hubungan spesifik yang lebih dari sekedar pertemanan, sikottaq berarti kepemilikan hubungan asmara antara
satu individu dengan individu lainnya. Pada wacana sanggilang ini, ternyata,
guling atau kemudi menjalin hubungan khusus dengan sanggilang sebagai
penyangganya, sebagai penyokongnya. Keberadaan sanggilang dan setengah
lingkaran kottaqnya menjadi sebab untuk dilekatkan dengan guling atau kemudi,
sekaligus menjadi sebuah akibat: perahu sandeq akan melaju dengan terarah.
Tanpa adanya sebab akibat pada
sistem kerja ‘kottaq sanggilang’ dan ‘guling’ atau kemudi, maka sama saja
dengan tak ada perahu sandeq, sandeq is
nothing! Kottaq sanggilang menjadi pertanyaan kenapa ia meski dilubangi
dengan model setengah lingkaran, sekaligus menjadi jawaban ketika ia
dipertemukan dengan tangkai batang kemudi yang dalam bahasa Mandarnya disebut
‘lamole’ guling. Maka sebuah kemungkinan bisa saja diuraikan, ‘sanggilang’
adalah penanda dari kekasih, sedangkan ‘guling’ sebagai penanda dari terkasih
atau sebaliknya, dan ‘kottaq sanggilang’ sebagai representase dari wujud cinta.
Dari sudut pandang sederhana ini
penulis mencoba menarik sebuah kesimpulan sementara bahwa, pada dasarnya, dalam
melayarkan perahu sandeq sebenarnya seorang nahkoda perahu berikut anak buahnya
sesungguhnya sedang melayarkan bentuk cinta, atau bahkan berlayar dengan
kekuatan cinta. Selama kemudi atau guling menyatu dengan baik dengan ‘sanggilang’
dalam ‘kottaq’ atau lubangnya, maka selama itu pula pelayaran akan tetap stabil
pada arah yang diinginkan.
Dulu, penulis memahami bahwa sikottaq yang dalam bahasa Mandar berati
menjalin hubungan pacaran adalah serapan dari kata ‘kontak’, jadi sikottaq berarti baku kontak, atau
saling memiliki kontak. Akan tetapi, sejak ditemukannya gagasan (subjektif)
ini, penulis beranggapan bahwa ternyata sikottaq
yang berarti menjalin hubungan pacaran ini merujuk pada sistem kerja kemudi
pada perahu tradisional Mandar, perahu sandeq.
Belajar cinta pada wacana perahu sandeq
Butuh pengorbanan untuk mencapai
dan apalah lagi untuk mempertahankan cinta. ‘Sanggilang’ butuh dikeruk dan
dilubangi sebagian dari dirinya agar bisa disatukan dengan ‘lamole’ atau batang
kemudi, artinya apa, pengorbanan adalah sebuah harga mati di dalam cinta. jika
hari ini seseorang merasakan cinta di dalam dirinya tanpa melalui sebuah
“pengrusakan” diri, bahkan jiwa, maka cinta yang ia rasakan mesti
dipertanyakan. Sama halnya mempertanyakan bagaimana bisa perahu itu melaju
dengan baik tanpa kemudi yang mantap? Hal ini cukup dapat dibuktikan dengan beberapa
kisah, Layla Majenun yang mengisahkan tragisnya kematian antara layla dan Qais,
Gibran yang terlunta-lunta dalam Sayap-sayap Patah, serta kisah Romeo dan
Juliet yang kematiannya sangat tragis, dan yang paling dekat dengan kita kisah tongguru Mattata dan Hadara.
Bahkan sebelum memulai untuk melubangi
‘sanggilang’, tukang yang mengerjakan perahu biasanya meritualkannya dengan
menggelar sesajen dan membakar dupa. Menciptakan lubang pada sanggilang menjadi
sesuatu yang sakral. Cinta adalah sesuatu yang sakral, lalu bagaimana mungkin
di antara kita ada yang menuangkan gagasannya untuk mempermainkan seseorang
lantas mengatasnamakan bahwa ia tengah menjalani cinta yang disetirnya dengan
seenak perutnya? Cinta pada ‘kottaq sanggilang’ adalah sebuah wujud penyatuan
yang jika salah satu dari ‘guling’ atau kemudi dan ‘sanggilang’ tidak melakukan
fungsinya dengan baik, berikut menjalani hukum-hukum imanen yang melingkupi
mereka (kondisi, anatomi, dsb) maka sekali lagi dikatakan bahwa sebuah
pelayaran gagal, bahkan tak bisa dilakukan.
Kemudi menemukan eksistensi
dirinya pada benda lain justru di luar dirinya, ia menemukan fungsinya pada ‘sanggilang’
yang menyangganya. ‘Sanggilang’ justru juga tidak berarti apa-apa tanpa kemudi
yang menindihnya. Sebuah gagasan yang pernah penulis tuangkan di situs jejaring
sosial facebook tentang cinta “aku di
dalam kamu atau kamu di dalam aku”, jika seseorang ingin menjalani
kehidupan dengan orang lain, maka ia harus menerima keberadaan individu lain,
sesuatu yang di luar dirinya. Bagaimana mungkiin sebuah hubungan dapat terlaksana
dengan baik jika satu dan yang lainnya tidak saling mengerti, memahami,
menerima, dan melakukan hal yang memungkinkan hubungan mereka tetap berlanjut,
semisal pertemanan, hubungan pacaran, atau bahkan hubungan pernikahan. Bukan tidak
mungkin meningkatnya kasus perceraian di kalangan masyarakat kita saat ini
disebabkan akibat dari kesalahan memahami apa sebenarnya kebersamaan itu,
bagaimana sebenarnya kebersatuan itu, dan bagaimana sebenarnya untuk memulai
sebuah hubungan dengan mengatasnamakan cinta. Mungkin tidak berlebih jika
penulis mengatakan bahwa, kepada para lelaki (Mandar) pelajarilah bagaimana
caranya melayarkan perahu sandeq dan mengetahui bagaimana pilosofi sistem kerja
kemudianya sebelum memutuskan untuk jatuh cinta pada seorang perempuan!
*) pernah dimuat di harian KORAN MANDAR