Jumat, 27 April 2012

Filosofi Cinta pada Sistem Pelayaran Perahu Sandeq*




 


"Kalau kukatakan aku mencintaimu, sumpah yang aku nyatakan aku mencintai kemanusiaan yang ada padamu, semua kehidupan serta diriku yang ada dan hidup padamu" (Erich From).

Cinta (asmara) sangat enteng kita ucapkan dari mulut kita, seenteng kita mengucapkan peniti, mobil, burger, atau ikan. Tetapi apakah cinta dapat kita pahami segampang kita memahami benda-benda itu? Cinta tetaplah cinta yang selalu menjadi pertanyaan sekaligus jawaban, dia yang menjadi sebab sekaligus menjadi akibat. Walau demikian di sekitar kita ada beberapa hal yang bisa kita interpretasi sebagai sebuah wacana yang kemungkinan bisa memberikan pada kita tentang pemahaman akan cinta, paling tidak membuka pikiran kita untuk kemudian mulai mempelajari cinta.

Persoalan cinta selama ini lebih sering disinggung oleh para penulis karya sastra, pencipta lagu dan beberapa pembuat film yang mengeksploitasi perspektif mereka tentang cinta. Sangat jarang bahkan nyaris tidak ada olah gagasan ilmiah yang membahas cinta, sebagaimana yang diungkapkan oleh Philip Roche, seorang psikiatris kenamaan dari Philadelphia bahwa, sebagian orang mengatakan bahwa cinta merupakan wilayah yang suci yang hanya bisa dimasuki oleh para penyair, sementara yang lain berkata bahwa, jika cinta ditempatkan di bawah pengamatan sains, maka ia akan dikuliti dari pesona keindahannya. Berikut ini adalah sebuah perspektif tentang cinta yang melihat cinta sebagai tata cara, sebuah tata cara unik yang ditemukan pada benda yang sifatnya lokalitas, sebuah interpretasi pilosofis tentang cinta pada perahu sandeq.

Cinta di perahu sandeq
Siapa yang tidak mengenal perahu sandeq? Perahu yang terbentuk dari evolusi tiga perahu tradisional Mandar pendahulunya ini banyak ditemukan di Pambusuang, sebuah kampung pelaut di pesisiran provinsi Sulawesi Barat, sekitar empat puluh kilometer arah barat dari kota Polewali. Perahu ini akan sangat gampang kita temukan dengan cirinya yang khas, bercadik, berwarna putih, bentuk layarnya segi tiga dan memiliki anatomi tubuh yang cukup ramping.

Pada bagian buritan perahu sandeq, terdapat sepasang kayu memanjang yang dipasang menyusun melintang, disebut ‘sanggilang’, bagian atas disebut ‘sanggilang muane’ dan pada bagian bawah disebut ‘sanggilang baine’, fungsi dari sanggilang ini untuk menyangga kemudi perahu saat dilajukan di laut lepas. Sanggilang adalah bagian yang paling penting setelah layar untuk melajukan perahu. Tetapi sebagian besar orang, khususnya orang Mandar mungkin belum mengetahui bahwa pada bagian sanggilang ini, terdapat sebuah lubang setengah lingkaran yang diciptakan untuk menggenggam daun kemudi saat perahu dilayarkan.

sepasang sanggilang dan lubang setengah lingkaran (dok. prib)
Lubang setengah lingkaran itu disebut ‘kottaq sanggilang’ (baca: kotta’). Kottaq sanggilang ini yang mempunyai peranan penting untuk tetap menjaga posisi kemudi saat sedang berlayar. Sedangkan di dalam bahasa Mandar, kottaq bisa berarti pacar atau kekasih, sikottaq berarti menjalin hubungan spesifik yang lebih dari sekedar pertemanan, sikottaq  berarti kepemilikan hubungan asmara antara satu individu dengan individu lainnya. Pada wacana sanggilang ini, ternyata, guling atau kemudi menjalin hubungan khusus dengan sanggilang sebagai penyangganya, sebagai penyokongnya. Keberadaan sanggilang dan setengah lingkaran kottaqnya menjadi sebab untuk dilekatkan dengan guling atau kemudi, sekaligus menjadi sebuah akibat: perahu sandeq akan melaju dengan terarah.

Tanpa adanya sebab akibat pada sistem kerja ‘kottaq sanggilang’ dan ‘guling’ atau kemudi, maka sama saja dengan tak ada perahu sandeq, sandeq is nothing! Kottaq sanggilang menjadi pertanyaan kenapa ia meski dilubangi dengan model setengah lingkaran, sekaligus menjadi jawaban ketika ia dipertemukan dengan tangkai batang kemudi yang dalam bahasa Mandarnya disebut ‘lamole’ guling. Maka sebuah kemungkinan bisa saja diuraikan, ‘sanggilang’ adalah penanda dari kekasih, sedangkan ‘guling’ sebagai penanda dari terkasih atau sebaliknya, dan ‘kottaq sanggilang’ sebagai representase dari wujud cinta.

Dari sudut pandang sederhana ini penulis mencoba menarik sebuah kesimpulan sementara bahwa, pada dasarnya, dalam melayarkan perahu sandeq sebenarnya seorang nahkoda perahu berikut anak buahnya sesungguhnya sedang melayarkan bentuk cinta, atau bahkan berlayar dengan kekuatan cinta. Selama kemudi atau guling menyatu dengan baik dengan ‘sanggilang’ dalam ‘kottaq’ atau lubangnya, maka selama itu pula pelayaran akan tetap stabil pada arah yang diinginkan.

Dulu, penulis memahami bahwa sikottaq yang dalam bahasa Mandar berati menjalin hubungan pacaran adalah serapan dari kata ‘kontak’, jadi sikottaq berarti baku kontak, atau saling memiliki kontak. Akan tetapi, sejak ditemukannya gagasan (subjektif) ini, penulis beranggapan bahwa ternyata sikottaq yang berarti menjalin hubungan pacaran ini merujuk pada sistem kerja kemudi pada perahu tradisional Mandar, perahu sandeq.

Belajar cinta pada wacana perahu sandeq
Butuh pengorbanan untuk mencapai dan apalah lagi untuk mempertahankan cinta. ‘Sanggilang’ butuh dikeruk dan dilubangi sebagian dari dirinya agar bisa disatukan dengan ‘lamole’ atau batang kemudi, artinya apa, pengorbanan adalah sebuah harga mati di dalam cinta. jika hari ini seseorang merasakan cinta di dalam dirinya tanpa melalui sebuah “pengrusakan” diri, bahkan jiwa, maka cinta yang ia rasakan mesti dipertanyakan. Sama halnya mempertanyakan bagaimana bisa perahu itu melaju dengan baik tanpa kemudi yang mantap?  Hal ini cukup dapat dibuktikan dengan beberapa kisah, Layla Majenun yang mengisahkan tragisnya kematian antara layla dan Qais, Gibran yang terlunta-lunta dalam Sayap-sayap Patah, serta kisah Romeo dan Juliet yang kematiannya sangat tragis, dan yang paling dekat dengan kita kisah tongguru Mattata dan Hadara.

Bahkan sebelum memulai untuk melubangi ‘sanggilang’, tukang yang mengerjakan perahu biasanya meritualkannya dengan menggelar sesajen dan membakar dupa. Menciptakan lubang pada sanggilang menjadi sesuatu yang sakral. Cinta adalah sesuatu yang sakral, lalu bagaimana mungkin di antara kita ada yang menuangkan gagasannya untuk mempermainkan seseorang lantas mengatasnamakan bahwa ia tengah menjalani cinta yang disetirnya dengan seenak perutnya? Cinta pada ‘kottaq sanggilang’ adalah sebuah wujud penyatuan yang jika salah satu dari ‘guling’ atau kemudi dan ‘sanggilang’ tidak melakukan fungsinya dengan baik, berikut menjalani hukum-hukum imanen yang melingkupi mereka (kondisi, anatomi, dsb) maka sekali lagi dikatakan bahwa sebuah pelayaran gagal, bahkan tak bisa dilakukan.

Kemudi menemukan eksistensi dirinya pada benda lain justru di luar dirinya, ia menemukan fungsinya pada ‘sanggilang’ yang menyangganya. ‘Sanggilang’ justru juga tidak berarti apa-apa tanpa kemudi yang menindihnya. Sebuah gagasan yang pernah penulis tuangkan di situs jejaring sosial facebook tentang cinta “aku di dalam kamu atau kamu di dalam aku”, jika seseorang ingin menjalani kehidupan dengan orang lain, maka ia harus menerima keberadaan individu lain, sesuatu yang di luar dirinya. Bagaimana mungkiin sebuah hubungan dapat terlaksana dengan baik jika satu dan yang lainnya tidak saling mengerti, memahami, menerima, dan melakukan hal yang memungkinkan hubungan mereka tetap berlanjut, semisal pertemanan, hubungan pacaran, atau bahkan hubungan pernikahan. Bukan tidak mungkin meningkatnya kasus perceraian di kalangan masyarakat kita saat ini disebabkan akibat dari kesalahan memahami apa sebenarnya kebersamaan itu, bagaimana sebenarnya kebersatuan itu, dan bagaimana sebenarnya untuk memulai sebuah hubungan dengan mengatasnamakan cinta. Mungkin tidak berlebih jika penulis mengatakan bahwa, kepada para lelaki (Mandar) pelajarilah bagaimana caranya melayarkan perahu sandeq dan mengetahui bagaimana pilosofi sistem kerja kemudianya sebelum memutuskan untuk jatuh cinta pada seorang perempuan!

*) pernah dimuat di harian KORAN MANDAR




2 komentar: